Khiyar Dalam Jual Beli Bag. 4
Khiyar
ada delapan macam, (1) Khiyar Majlis, (2) Khiyar Syarat, (3) Khiyar Ghabn, (4)
Khiyar Tadlis, (5) Khiyar ‘Aib, (6) Khiyar at-takhbir bitsaman, (7) Khiyar yang
diterapkan jika ada ketidak sepakatan antara penjual dan pembeli pada beberapa
permasalahan, dan (8) Khiyar bagi pembeli apabila ia membeli sesuatu yang sifat
barangnya ia ketahui berdasarkan informasi dari penjualnya sebelumnya kemudian
ia (pembeli) mendapatkan bahwa sifat barangnya sudah berubah.
Pada
bagian ketiga ini akan membahas, khiyar yang ke-5.
5.
Khiyar ‘Aib
Diantara
hak pilih yang diakui bagi masing-masing pihak yang bertransaksi adalah khiyâr
aib. Dimana salah satu transaktor dapat menggagalkan transaksi bila tersingkap
adanya cacat pada objek transaksi yang sebelumnya tidak diketahui.
Ulama
pakar fikih mendefiniskannya dengan hak syar’i yang ditetapkan dengan segala
konsekwensinya untuk pembeli dalam menyempurnakan atau menggagalkan transaksi
apabila mendapatkan barang memiliki aib dan rusak yang belum diketahui sebelumnya
ketika waktu transaksi.
Pof.
DR Syaikh Shalih bin Fauzan Alu Fauzan – hafizhahullâh –lebih jelas menyatakan:
Khiyâr aib adalah hak pilih yang diberikan kepada pembeli dengan sebab aib atau
cacat pada barang yang tidak diberitahukan oleh penjual atau penjual belum
mengetahuinya dan ada indikasi yang menunjukkan bahwa cacat itu ada sejak
sebelum dijual.
Hikmah
Pensyariatannya
Hikmah
disyariatkan hak pilih ini sangat jelas sekali. Karena para pelaku teransaksi
akan melangsungkan transaksinya dengan rela hati jika dia yakin objek
transaksinya tidak cacat. Cacat yang tersingkap dikemudian hari jelas akan
merusak kerelaannya terhadap transaksi yang sudah terjadi. Oleh sebab itu
disyariatkan khiyâr ‘aib (hak pilih antara melanjutkan atau membatalkan
transaksi karena ada cacat pada objek transaksi). Sehingga problem
ketidakrelaan terhadap keberlangsungan suatu transaksi akibat cacat pada objek
transaksi bisa diatasi.
Cacat
yang bisa ditolak dengan hak pilih ini adalah cacat yang bisa mengurangi nilai
barang itu di kalangan para pedagang. Yang menjadi barometer di sini adalah
orang-orang yang berpengalaman di bidang perniagaan barang itu sendiri. Juga
disyaratkan, cacat itu sudah ada sebelum serah terima sementara orang yang
bertransaksi tidak mengetahuinya. Persyaratan ini sudah dapat dimaklumi secara
aksiomatik.
Khiyâr
‘aib (hak pilih karena cacat) ini memberikan hak kepada orang yang bertransaksi
untuk melanjutkan transaksi atau membatalkannya selama masih mungkin. Kalau
transaksi itu sudah tidak mungkin lagi dibatalkan karena objek transaksinya
sudah bertambah atau berkurang sebelum diketahui cacatnya, maka pihak yang
dirugikan berhak mendapatkan kompensasi atau ganti rugi senilai dengan
pengurangan harga barang akibat cacat itu.
Kalau
orang yang mendapati cacat itu tetap rela, baik secara terus terang dia
mengungkapkan kerelaannya atau ada indikasi kesana, maka otomatis hak pilih ini
gugur.
Hukum
Pensyariatannya
Para
ahli fikih sepakat tentang tidak bolehnya seseorang menjual barang miliknya
yang cacat dengan cara menutupi cacat yang sudah dia ketahui, tanpa
memberitahukannya kepada pembeli. Ini sering terjadi di masyarakat. Seorang
pembeli akan memilih barang yang tidak cacat dan penjual harus menjelaskan
cacat tersebut apabila ada pada barangnya. Apabila terbukti barang tersebut
cacat maka syariat memberikan hak pilih (khiyâr) kepada pembeli untuk
mengembalikan barang itu dan menggagalkan transaksinya. Ini berdasarkan
beberapa dalil dari al-Qur`ân dan as-Sunnah. Diantaranya,
1.
Firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ
بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
cara yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama-suka di antara kamu. [an-Nisâ`/4:29].
Dalam
ayat ini Allâh Azza wa Jalla menyatakan syarat sah jual beli itu adalah
dilakukan dengan dasar suka sama suka dari kedua transaktor. Rasa suka ini
muncul kalau apa yang dibelinya itu sesuai dengan asumsinya yaitu bagus tanpa
cacat. Kalau dikemudian hari, dia menemukan cacat tanpa pemberitahuan sebelumnya
dari pihak penjual, tentu hal ini akan merusak sikap suka sama suka tersebut.
Oleh karena itu, khiyâr ‘aib ini disyari’atkan. Dan si penjual jika hendak
menjual barang yang ada cacatnya, diharuskan untuk menjelaskannya.
2.
Hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan Ibnu Mâjah dari
sahabat ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma :
أَنَّ رَجُلًا اشْتَرَى عَبْدًا فَاسْتَغَلَّهُ ثُمَّ وَجَدَ بِهِ عَيْبًا
فَرَدَّهُ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ قَدْ اسْتَغَلَّ غُلَامِي فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْخَرَاجُ بِالضَّمَانِ
Seorang
membeli seorang budak lalu ia menggunakan budak itu. Kemudian dia mendapatkan
aib pada budak tersebut, lalu ia mengembalikannya. Penjual berkata : ‘Wahai
Rasulullah ! Ia telah mempergunakan budakku tersebut’. Lalu Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Manfaat berbanding dengan resiko’.
3.
Hadits dari sahabat ‘Uqbah bin ‘Amir Radhiyallahu anhu, beliau berkata:
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ الْمُسْلِمُ
أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ بَاعَ مِنْ أَخِيهِ بَيْعًا فِيهِ عَيْبٌ
إِلَّا بَيَّنَهُ لَهُ
Aku
telah mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Seorang
muslim adalah saudara muslim lainnya, tidak halal bagi seorang muslim menjual
barang yang cacat kepada saudaranya kecuali telah ia jelaskan.
Demikianlah
sebagian dasar penetapan khiyâr ‘aib. Timbul pertanyaan, apakah khiyâr ‘aib itu
berlaku pada setiap ‘aib atau cacat ?
Kriteria
Aib Atau Cacat Dalam Barang
Khiyâr
‘aib tidak berlaku pada semua kerusakan atau aib. Para ulama menjelaskan
kriteria aib (cacat) yang menimbulkan khiyâr ‘aib ini yaitu semua cacat yang
mengurangi minat pembeli terhadap barang tersebut atau mengurangi nilai barang
atau semua cacat yang biasanya tidak ada pada jenis barang itu.
Prof.
DR. Syaikh Shâlih bin Fauzân Alu Fauzân –Hafizhahullâhu – menyatakan :
“Kriteria ‘aib atau cacat yang dapat menimbulkan khiyâr adalah semua cacat yang
dipandang umum dapat menyebabkan nilai barang berkurang atau mengurangi materi
atau volume barang tersebut. Untuk mengetahuinya harus meruju’ kepada kebiasaan
para pedagang yang sudah mu’tabar (kredibel). Semua yang mereka anggap ‘aib
maka ada khiyârnya dan yang tidak mereka anggap aib yang mengurangi nilai atau
dzat barang tersebut, maka tidak dianggap ‘aib.
Syarat
Dan Penghalang Pengembalian Barang Cacat.
Dalam
memberlakukan khiyâr ‘aib ini ada beberapa syarat yang harus terpenuhi.
Diantaranya :
1.
Cacat itu ada ketika jual beli atau setelah akad sebelum serah terima barang
berlangsung. Apabila cacat atau aib itu timbul setelah serah terima barang maka
khiyâr ini tidak berlaku. Seorang yang membeli barang kemudian dia melihat
aibnya sebelum serah terima barang maka pembeli memiliki hak khiyâr ini, baik
cacat tersebut timbul sebelum transaksi atau sesudahnya. Apabila cacat itu
timbul setelah barang berpindah ke tangan pembeli maka si pembeli tidak
memiliki khiyâr ‘aib ini.
2.
Cacat atau aib tersebut mempengaruhi nilai barang, sebagaimana penjelasan
diatas.
3.
Pembeli tidak mengetahui cacat itu ketika akad atau ketika serah terima barang.
Apabila pembeli telah mengetahui cacat atau aib tersebut sebelumnya dan tetap
melanjutkan transaksinya maka dianggap rela dengan kondisi barang itu. Dengan
demikian, khiyâr aib ini tidak berlaku lagi.
4.
Cacat itu tidak mungkin dihilangkan kecuali dengan bersusah payah.
5.
Cacat itu masih ada ketika transaksi digagalkan. Misalnya seorang membeli
kambing kemudian ketahuan kambing tersebut sakit. Namun ketika transaksi ini
hendak digagalkan ternyata kambing itu sehat lagi. Apabila demikian, maka
khiyâr aib tidak diberlakukan.
Dari
sini dapat diketahui beberapa faktor yang menghalangi pengembalian barang
cacat, sehingga barang tidak bisa dilakukan. Diantara penghalang itu adalah :
1.
Si pembeli rela menerima barang cacat itu apa adanya setelah mengetahuinya.
2.
Pembeli tidak menggunakan hak pilih (khiyâr) ini
3.
Barang yang cacat itu hilang
4.
Pertambahan barang setelah berada ditangan pembeli. Pertambahan ini terpisah
dari barang itu sendiri. Misalnya, seseorang membeli kambing lalu terlihat ada
cacat pada kambing itu. Namun sebelum sempat dikembalikan, kambing itu
melahirkan. Anak kambing tersebut adalah tambahan yang terpisah dari induknya
yang bisa menjadi barang yang diperjual belikan. Pada keadaan seperti ini tidak
diberlakukan khiyâr aib.
Waktu
Khiyâr Aib
Para
ulama ahli fikih sepakat bahwa tidak ada waktu tertentu untuk mengembalikan
barang yang cacat. Karena cacat pada barang itu tersembunyi, maka kapan saja
cacat itu terlihat dan terbukti maka barang itu boleh dikembalikan atau
transaksi itu boleh digagalkan.[8]
Konsekuensi
khiyâr aib
Apabila
seorang pembeli mendapatkan cacat pada barang yang dibelinya, maka dia dapat
menggunakan hak pilih (khiyâr) ini dengan tiga pilihan :
1.
Mengembalikan barang tersebut dan mengambil kembali uang yang telah
dibayarkannya
2.
Melanjutkan transaksi dengan tidak mengembalikan barangnya
3.
Meminta kompensasi (arsy al-‘aib) dengan cara membandingkan harga barang yang
bagus tanpa cacat dengan harganya bila cacat. Selisih harga inilah yang mejadi
hak si pembeli sebagai konpensasi cacat pada barang yang dibelinya.
Syaikh
Shâlih bin Fauzân Alu Fauzân –hafizhahullâh- menjelaskan : “Apabila pembeli
mengetahui aib atau cacat setelah transaksi, maka ia memiliki khiyâr (berhak
memilih) antara melanjutkan transaksi dan mengambil ganti rugi cacat barang,
yaitu senilai selisih antara nilai barang tanpa aib dengan yang ada aibnya.
Boleh juga menggagalkan transaksi dan mengembalikan barangnya dengan meminta
kembali uang yang telah dia bayarkan.”[9]
Dalam
masalah pengembalian barang yang cacat para ulama ahli fikih (al-fuqahâ)
memisahkan permasalahan ini dalam dua keadaan:
1.
Apabila cacat diketahui oleh pembeli sebelum serah terima, maka para ulama ahli
fikih (al-fuqahâ) sepakat bahwa pembatalan transaksi cukup dengan ucapan si
pembeli, tanpa menunggu keputusan pengadilan atau saling suka sama suka
(tarâdhi) kedua belah pihak.
2.
Apabila diketahui setelah selesai serah terima barang, maka para ulama ahli
fikih berselisih pendapat menjadi dua madzhab. Yang râjih –wallâhu a’lam- tidak
boleh ada pengembalian barang kecuali setelah ada keputusan dari peradilan atau
suka sama suka (tarâdhi).
Bila
Terjadi Perselisihan Antara Pembeli Dengan Penjual
Bila
terjadi perbedaan antara penjual dengan pembeli tentang waktu timbulnya cacat
pada barang, apakah terjadi sebelum dibeli ataukah terjadi akibat kesalahan
pembeli, seperti seorang membeli kambing dan setelah sehari kemudian pembeli
mengklaim kambingnya pincang dan tidak diketahui kapan cacat tersebut terjadi.
Maka para ulama ahli fikih memenangkan penjual dengan disertai sumpahnya atau
keduanya berdamai menggagalkan transaksi. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
إِذَا اخْتَلَفَ الْبَيِّعَانِ وَلَيْسَ بَيْنَهُمَا بَيِّنَةٌ فَالْقَوْلُ
مَا يَقُولُ صَاحِبُ السِّلْعَةِ أَوْ يَتَرَادَّانِ
Apabila
dua orang yang bertransaksi jual beli dan tidak ada bukti (yang memenangkan
salah satu pihak) maka yang dimenangkan adalah pernyataan penjual (pemilik
barang) atau saling menggagalkan.
[Disalin
dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XIV/1431/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah
Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183
Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
Oleh: Ustadz Khalid Syamhudi, Lc.
Leave a Comment