Warisan al-muthallaqah (istri yang ditalak/diceraikan)


Telah diketahui bahwa dengan adanya ikatan pernikahan maka otomatis suami dan istri saling mewarisi satu sama lainnya karena pernikahan adalah sebab seseorang berhak mendapatkan warisan. Apabila ikatan pernikahan ini telah terputus dengan talak bain/talak tiga maka terputuslah keberhakkan untuk mendapatkan warisan di antara keduanya. Adapun jika talak itu adalah talak raj’i (talak yang masih bisa ruju’ yaitu talak satu dan talak dua) maka keduanya masih tetap saling mewarisi selama masih dalam masa iddah.

Namun, dalam masalah talak bain ini terjadi khilaf (perbedaan) ulama tentang hak kewarisan mereka. Disebutkan oleh syaikh shalih bin Fauzan bin Abdillah al-fauzan dalam kitabnya at-tahqiqat al-mardiyyah fil mabahitsil fardiyyah bahwa warisan bagi al-muthallaqah secara umum ada tiga, yaitu:

1. Al-muthallaqah ar-roj’iyyah (wanita yang ditalak raj’i) pada saat pentalak (suami) sakit atau pun sehat maka hukumnya sama saja.

2.  Al-muthallaqah al-bain (wanita yang ditalak bain) ketika suami dalam keadaan sehat

3. Al-muthallaqah al-bain (wanita yang ditalak bain) ketika suami dalam keadaan sakit yang membawa kepada kematian.

Berikut ini akan dijelaskan tentang siapa di antara ketiga macam talak di atas yang berhak mendapat warisan dan yang tidak berhak mendapatkannya.

1. Al-muthallaqah ar-roj’iyyah mereka mewarisi harta suaminya apabila suaminya meninggal sedangkan ia masih dalam masa iddah, alasannya karena statusnya masih menjadi istri selama ia masih dalam masa iddah.

2. Al-muthallaqah al-bain (wanita yang ditalak bain) ketika suami dalam keadaan sehat, maka ia tidak mewarisi menurut kesepakatan para ulama, alasannya karena ikatan pernikahan sudah tidak lagi terjalin dan tidak ada perasangka kepada suami kalau suami mentalaknya karena untuk menghalangi istri mendapatkan warisan. dan begitu juga sama hukumnya bagi suami yang mentalak bain istrinya ketika sang suami sakit namun, sakitnya tersebut tidak dikhawatirkan akan membawanya kepada kematian.

3. Talak bain yang terjadi ketika suami dalam keadaan sakit yang membawa kepada kematian, namun tidak ada prasangka terhadap suami  kalau ia melakukan talak bain tersebut untuk menghalangi istri mendapatkan warisan. maka istri yang ditalak bain ini tidak mewarisi.

4. Talak bain yang terjadi ketika suami dalam keadaan sakit yang membawanya kepada kematian, namun ada prasangkan atau praduga kalau suami mentalak bain istrinya ini karena ia ingin menghalangi istri untuk mendapatkan warisan. maka di sini ada empat pendapat,

a). Istri tersebut tidak mewarisi karena talaknya adalah talak bain yang dilakukan ketika suami belum meninggal. Maka terputuslah hak kewarisan istri tersebut sebagaiman terputusnya hak kewarisan saat talak bain terjadi ketika suami dalam keadaan sehat. Inilah pendapat yang shahih dari pendapat imam Asy-Syafi’i.
b). Istri tersebut mendapatkan warisan apabila suami yang mentalak bain tersebut meninggal sedangkan ia masih dalam masa iddah. Namun apabila masa iddah tersebut sudah habis maka ia tidak mendapatkan warisan. ini adalah pendapat Al-Hanafiyyah, alasannya karena dalam masa iddah masih ada sebagian hukum-hukum pernikahan.
c). Istri tersebut mewarisi, baik dalam masa iddah maupun sudah lewat masa iddah selama ia belum menikah lagi dengan orang lain atau murtad. Alasannya karena illat (sebab) pewarisannya adalah suami menghalang-halangi dan mencegah istri mendapatkan warisan. ini pendapat al-hanabilah.
d). Istri tetap mewarisi meski suami meninggal ketika istri masih dalam masa iddah, ataupun sudah lewat masa iddah. Dan sudah menikah dengan yang lain maupun belum menikah. Ini pendapat al-malikiyyah.

At-tarjih

Menurut syaikh shalih bin Fauzan bin Abdillah al-Fauzan yang rajah adalah pendapat dari al-hanabilah. Alasannya karena benarnya illat yang beliau terapkan untuk menegakkah warisan pada masa iddah dan setelah masa iddah yaitu karena suami menghalangi dan mencegah istri mendapatkan warisan. maka istri tetap diberikan warisan untuk membatalkan tujuan suami tersebut sebagai bentuk saddudzari’ah.
Referensi:

1. Al-Faraidh, karya Syaikh Dr. Abdul Karim bin Muhammad al-Laahim
2. At-tahqiiqatul Mardhiyyah fil Mabahitsil Fardhiyyah, karya Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah al-Fauzan
3. Ilmu Waris, karya Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin, penerbit ash-Shaf Media

Aa Fahru Zaman
Jakarta, 14 September 2017


No comments

Powered by Blogger.